BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Thalasemia
berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang dimaksud
dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama kali dikenal
di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh
seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas B.
Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita anemia dengan
pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya, anemia ini dinamakan
anemia splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau
anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya.
Sebagai
sindrom klinik penderita thalassemia mayor (homozigot) yang telah agak besar
menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa hambatan pertumbuhan, anak
menjadi kurus bahkan kurang gizi, perut membuncit akibat hepatosplenomegali
dengan wajah yang khas mongoloid, frontal bossing, mulut tongos (rodent
like mouth), bibir agak tertarik, maloklusi gigi.
Thalassemia
ternyata tidak saja terdapat di sekitar Laut Tengah, tetapi juga di Asia
Tenggara yang sering disebut sebagai sabuk thalassemia (WHO, 1983) sebelum
pertama sekali ditemui pada tahun 1925 (Lihat Gambar 2). Di Indonesia banyak
dijumpai kasus thalassemia, hal ini disebabkan oleh karena migrasi penduduk dan
percampuran penduduk. Menurut hipotesis, migrasi penduduk tersebut diperkirakan
berasal dari Cina Selatan yang dikelompokkan dalam dua periode. Kelompok
migrasi pertama diduga memasuki Indonesia sekitar 3.500 tahun yang lalu dan
disebut Protomelayu (Melayu awal) dan migrasi kedua diduga 2.000 tahun yang
lalu disebut Deutromelayu (Melayu akhir) dengan fenotip Monggoloid yang kuat.
Keseluruhan populasi ini menjadi menjadi Hunian kepulauan Indonesia tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nias, Sumba dan Flores.
B.
Tujuan
1.
Dapat
mengetahui patofisiologi tanda dan gejala klinis thalasemia.
2.
Dapat
menetapkan penyebab utama manifestasi klinis thalasemia yang disebabkan oleh
adanya kelainan produksi hemoglobin.
3.
Mampu
melakukan penetapan diagnosis atau diagnosis banding pada penderita thalasemia.
4.
Mampu
memberikan terapi atau penatalaksanaan dan pencegahan pada penderita
thalasemia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Thalasemia
Thalassemia berasal dari kata
Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang dimaksud dengan laut
tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama kali dikenal di
daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh seorang
dokter di Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925. Beliau
menjumpai anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limpa setelah
berusia satu tahun. Selanjutnya, anemia ini dinamakan anemia splenic atau
eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai
dengan nama penemunya.
Thalasemia adalah sekelompok
penyakit keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah
satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin (komponen darah).
Thalasemia adalah penyakit
kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau
umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita
thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan
sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang.
B.
Penyebab Thalasemia
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan
sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin
sebagaimana mestinya. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang
berada di dalam sel darah merah dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai
energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak ada, maka pasokan
energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi,
sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan
aktivitasnya secara normal.
Thalasemia adalah sekelompok penyakit
keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu
dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein hemoglobin
alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan
oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang
harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan,
maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan
gejala-gejala dari penyakit ini.
C.
Patofisiologi
Hemoglobin
yang terdapat dalam sel darah merah, mengandung zat besi (Fe). Kerusakan sel
darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di
dalam tubuh. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh
digunakan untuk membentuk sel darah merah baru.
Pada penderita
thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel darah merah yang rusak itu
menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati (lever). Jumlah zat
besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload ini akan mengganggu fungsi
organ tubuh. Penumpukan zat besi terjadi karena penderita thalasemia memperoleh
suplai darah merah dari transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila
tidak dikeluarkan, akan sangat membahayakan karena dapat merusak jantung, hati,
dan organ tubuh lainnya, yang pada akhirnya bisa berujung pada kematian.
D.
Patogenesis
Patogenesis thalassemia secara umum dimulai dengan adanya mutasi yang menyebabkan
HbF tidak dapat berubah menjadi HbA, adanya ineffective eritropoiesis, dan
anemia hemolitik. Tingginya kadar HbF yang memiliki afinitas O2 yang tinggi
tidak dapat melepaskan O2 ke dalam jaringan, sehingga jaringan mengalami
hipoksia. Tingginya kadar rantai α-globin, menyebabkan rantai tersebut
membentuk suatu himpunan yang tak larut dan mengendap di dalam eritrosit.
Hal tersebut merusak selaput sel,
mengurangi kelenturannya, dan menyebabkan sel darah merah yang peka terhadap
fagositosis melalui system fagosit mononuclear. Tidak hanya eritrosit, tetapi
juga sebagian besar eritroblas dalam sumsum dirusak, akibat terdapatnya inklusi
(eritropioesis tak efektif).
Eritropoiesis tak efektif dapat
menyebabkan adanya hepatospleinomegali, karena eritrosit pecah dalam waktu yang sangat singkat dan
harus digantikan oleh eritrosit yang baru (dimana waktunya lebih lama),
sehingga tempat pembentukan eritrosit (pada tulang-tulang pipa, hati dan limfe)
harus bekerja lebih keras. Hal tersebut menyebabkan adanya pembengkakan pada
tulang (dapat menimbulkan kerapuhan), hati, dan limfe.
1)
Thalasemia-α
Pada homozigot thalassemia α yaitu hydrop fetalis,
rantai α sama sekali tidak diproduksi sehingga terjadi peningkatan Hb Bart’s
dan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb-nya cukup, karena hampir semua merupakan Hb
Bart’s, fetus tersebut sangat hipoksik.
Sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda-tanda
hipoksia intrauterin. Sedangkan pada thalassemia heterozigot yaitu αo dan α+
menghasilkan ketidakseimbangan jumlah rantai tetapi pasiennya mampu
bertahan dengan penyakit HbH. Kelainan ini ditandai dengan adanya anemia
hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.
2)
Thalasemia-β
Tidak dihasilkannya rantai β karena mutasi kedua alel
β globin pada thalassemia β menyebabkan kelebihan rantai α. Rantai α tersebut
tidak dapat membentuk tetramer sehingga kadar HbA menjadi turun, sedangkan
produksi HbA2 dan HbF tidak terganggu karena tidak membutuhkan rantai β dan
justru sebaliknya memproduksi lebih banyak lagi sebagai usaha kompensasi.
Kelebihan rantai α tersebut akhirnya mengendap pada
prekursor eritrosit. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion
bodies (heinz bodies) yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membran
sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada
eritrosit.
Sehingga anemia pada thalassemia β disebabkan oleh
berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit. Pada hapusan darah,
eritrosit terlihat hipokromik, mikrositik, anisositosis, RBC terfragmentasi,
polikromasia, RBC bernukleus, dan kadang-kadang leukosit imatur.
E.
Macam-Macam Thalasemia
1.
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :
a)
Alfa –
Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa – Thalasemia paling sering ditemukan pada orang
kulit hitam (25% minimal membawa 1 gen). Sindrom thalassemia-α disebabkan oleh
delesi pada gen α globin pada kromosom 16 (terdapat 2 gen α globin pada tiap
kromosom 16) dan nondelesi seperti gangguan mRNA pada penyambungan gen yang
menyebabkan rantai menjadi lebih panjang dari kondisi normal.
Gambar 1
Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi
menjadi empat, yaitu:
1)
Delesi pada
satu rantai α (Silent Carrier/ α-Thalassemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin α sedangkan tiga
lokus globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal sehingga tidak
terlihat gejala-gejala bila ia terkena thalassemia.
2)
Delesi pada
dua rantai α (α-Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan
peningkatan dari HbH dan terjadi manifestasi klinis ringan seperti anemia
kronis yang ringan dengan eritrosit hipokromik mikrositer dan MCV 60-75 fl.
3)
Delesi pada
tiga rantai α (HbH disease)
Delesi pada tiga rantai α ini disebut juga sebagai HbH
disease (β4) yang disertai anemia hipokromik mikrositer, basophylic stippling,
heinz bodies, dan retikulositosis. HbH
terbentuk dalam jumlah banyak karena tidak terbentuknya rantai α sehingga
rantai β tidak memiliki pasangan dan kemudian membentuk tetramer dari rantai β
sendiri (β4).
Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami
presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan.
Penderita dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl) dan
MCV 60-70 fl.
4)
Delesi pada
empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi pada empat rantai α ini dikenal juga sebagai
hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts (γ4) yang disebabkan juga
karena tidak terbentuknya rantai α sehingga rantai γ membentuk tetramer sendiri
menjadi γ4.
Manifestasi
klinis dapat berupa ikterus, hepatosplenomegali, dan janin yang sangat anemis.
Kadar Hb hanya 6 g/dl dan pada elektroforesis Hb menunjukkan 80-90% Hb Barts,
sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF. Biasanya bayi yang mengalami
kelainan ini akan mati beberapa jam setelah kelahirannya.
b)
Beta –
Thalasemia (melibatkan rantai beta)
Beta – Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan
Asia Tenggara. Thalassemia-β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi
pendek kromosom 11.
Gambar 2
1)
Thalassemia βo
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode
rantai β sehingga tidak dihasilkan rantai β yang berfungsi dalam pembentukan
HbA.
Bayi baru lahir dengan thalasemia β mayor tidak anemis
dengan gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat
dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa
minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak segera ditangani dengan baik,
tumbuh kembang anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan
lemak tubuh, dan demam berulang akibat infeksi. (Kapita selekta kedokteran)
2)
Thalassemia β+
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal
dan fungsional namun hanya sedikit sehingga rantai β dapat dihasilkan dan HbA
dapat dibentuk walaupun hanya sedikit.
1.
Secara klinis, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :
a)
Thalasemia
Mayor (sifat sifat gen dominan)
Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai
dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya,
penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih
lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek,
hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang
hidupnya.
Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir,
namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu,
juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies
cooley.
Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni
batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang
bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita
thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih khusus. Pada umumnya,
penderita thalasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan pengobatan
seumur hidup.
Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia
mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering transfusi darah
ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang
pasti, semakin berat penyakitnya, semakin sering pula si penderita harus
menjalani transfusi darah.
Gambar 3
b)
Thalasemia
Minor
Individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun
individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau
thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor
juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menderita thalasemia
mayor.
Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit
thalasemia mayor dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia,
lemas, loyo dan sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak
lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan
transfusi darah di sepanjang hidupnya.
Gambar 4
A.
Patofisiologi Gejala Klinis Thalasemia
Gejala yang didapat pada pasien
berupa gejala umum anemia yaitu: anemis, pucat, mudah capek, dan adanya
penurunan kadar hemoglobin. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsional
hemoglobin dalam menyuplai atau membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh yang
digunakan untuk oksidasi sel. Sehingga oksigenasi ke jaringan berkurang. Selain
sebagai pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai pigmen merah eritrosit
sehingga apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin ke jaringan maka jaringan
tersebut menjadi pucat.
Penurunan fungsional hemoglobin
tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan pembentukan hemoglobin,
penurunan besi sebagai pengikat oksigen dalam hemoglobin. Kompensasi tubuh agar
suplai oksigen ke jaringan tetap terjaga maka jantung sebagai pemompa darah
berdenyut lebih keras dan sering yang disebut sebagai takikardia di mana hal
ini juga terjadi pada anak (denyut nadi 120 kali/menit, normal 60-100
kali.menit). Tetapi frekuensi respirasi pasien dalam tahap normal 24 kali/menit
(normal 16-24 kali/menit).
Kelainan pembentukan hemoglobin
tersebut dapat mengakibatkan adanya morfologi eritrosit abnormal (mikrositik,
Heinz bodies, sel target) sehingga dengan cepat akan didestruksi oleh limpa dan
hati. Peristiwa destruksi eritrosit secara cepat kurang dari masa hidupnya (120
hari) disebut sebagai hemolisis.
Adanya hemolisis menyebabkan proses
perombakan eritrosit secara cepat. Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh
limpa dan hati dengan bantuan makrofag sehingga semakin banyak eritrosit abnormal
maka kerja limpa akan semakin berat. Hal inilah yang menyebabkan adanya
splenomegali.
Adanya hepatomegali dan splenomegali
pada pasien dapat mengakibatkan penurunan imunitas tubuh sehingga tubuh rentan
terhadap infeksi mikroorganisme. Limpa sebagai tempat sintesis limfosit dan sel
plasma (bahan antibodi) merupakan salah satu pertahanan imunitas tubuh. Hati
sebagai tempat yang sering dilalui mikroorganisme patogenik yang akan
dihancurkan sebelum memasuki saluran gastrointestinal.
Kemungkinan pasien mengalami infeksi
dimana terdapat tanda-tanda infeksi pada pasien, yaitu : suhu (38,00C),
panas, tonsil membesar dan kemerahan, dan faring kemerahan. Infeksi ini bisa
didapatkan dari mikroorganisme seperti: malaria, hepatitis, haemophilus, streptococcus,
pneumococcus, dll.
1)
Gejala klinis thalasemia mayor :
i.
Tampak pucat
dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen tidak
terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada thalasemia (HbF) memiliki afinitas
tinggi terhadap oksigen
ii.
Facies
thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena hiperplasia
sumsum hebat
iii.
Hepatosplenomegali yang
disebakan oleh penghancuran sel darah merah berlebihan, hemopoesis
ekstramedular, dan kelebihan beban besi.
iv.
Pemeriksaan
radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis, dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak besar
kadang-kandang terlihat brush appereance.
v.
Hemosiderosis
yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan keterlambatan menarse dan
gangguan perkembangan sifat seks sekunder. Selain itu juga menyebabkan
diabetes, sirosis hati, aritmia jantung, gagal jatung, dan perikarditis.
vi.
Sebagai
sindrom klinik penderita thalassemia mayor (homozigot) yang telah agak besar
menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa hambatan pertumbuhan, anak
menjadi kurus bahkan kurang gizi, perut membuncit akibat hepatosplenomegali
dengan wajah yang khas mongoloid, frontal bossing, mulut tongos (rodent
like mouth), bibir agak tertarik, maloklusi gigi
2)
Gejala klinis Thalasemia minor
Penderita yang menderita thalasemia minor, hanya
sebagai carrier dan hanya menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Orang dengan
anemia talasemia minor (paling banyak) ringan (dengan sedikit menurunkan tingkat
hemoglobin dalam darah).
Situasi ini dapat sangat erat menyerupai dengan anemia
kekurangan zat besi ringan. Namun, orang dengan talasemia minor memiliki
tingkat besi darah normal (kecuali mereka miliki adalah kekurangan zat besi
karena alasan lain). Tidak ada perawatan yang diperlukan untuk thalasemia
minor. Secara khusus, besi tidak perlu dan tidak disarankan.
B.
Penyebab Thalasemia
1)
Gangguan
genetik
Orang tua memiliki sifat carier
(heterozygote) penyakit thalasemia sehingga klien memiliki gen resesif
homozygote.
2)
Kelainan
struktur hemoglobin
a.
Kelainan
struktur globin di dalam fraksi hemoglobin. Sebagai contoh, Hb A (adult, yang
normal), berbeda dengan Hb S (Hb dengan gangguan thalasemia) dimana, valin di
Hb A digantikan oeh asam glutamate di Hb S.
b.
Menurut
kelainan pada rantai Hb juga, thalasemia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
thalasemia alfa (penurunan sintesis rantai alfa) dan beta (penurunan sintesis
rantai beta).
3)
Produksi
satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu.
Defesiensi produksi satu atau lebih
dari satu jenis rantai a dan b.
4)
Terjadi kerusakan
sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100
hari). Struktur morfologi sel sabit (thalasemia) jauh lebih rentan untuk rapuh
bila dibandingkan sel darah merah biasa.
Hal ini dikarenakan berulangnya
pembentukan sel sabit yang kemudian kembali ke bentuk normal sehingga
menyebabkan sel menjadi rapuh dan lisis.
5)
Deoksigenasi (penurunan tekanan O2)
Eritrosit yang mengandung Hb S
melewati sirkulasi lebih lambat apabila dibandingkan dengan eritrosit normal.
Hal ini menyebabkan deoksigenasi (penurunan tekanan O2) lebih lambat
yang akhirnya menyebabkan peningkatan produksi sel sabit.
C.
Diagnosis Thalasemia
1)
Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia yaitu pucat, gangguan
nafsu makan, gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien
dan hati. Pada umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan
2)
Pemeriksaan fisis
a. Pucat
b. Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
c. Dapat ditemukan ikterus
d. Gangguan pertumbuhan
e. Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut
membesar
3)
Pemeriksaan penunjang
a.
Darah tepi
·
Hb rendah
dapat sampai 2-3 g%
·
Gambaran
morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat
dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling,
benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang
khas.
·
Retikulosit
meningkat.
b.
Sumsum tulang
(tidak menentukan diagnosis)
·
Hiperplasi
sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.
·
Granula Fe
(dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
c.
Pemeriksaan
khusus :
·
Hb F
meningkat : 20%-90% Hb total
·
Elektroforesis
Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
·
Pemeriksaan
pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier)
dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).
4)
Pemeriksaan lain
·
Foto Ro
tulang kepala;
Gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak
lurus pada korteks.
·
Foto tulang
pipih dan ujung tulang panjang;
Perluasan
sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.
5)
Diagnosis banding
Thalasemia minor :
·
Anemia
kurang besi
·
Anemia
karena infeksi menahun
·
Anemia pada
keracunan timah hitam (Pb)
·
Anemia
sideroblastik
D.
Pengobatan dan pencegahan
Pada thalassemia yang berat
diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi,
harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif
(misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan
keracunan. Pada bentuk yang sangat
berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih
dalam tahap penelitian.
Thalasemia menurut para ahli belum
ada obatnya, tapi pengobatan alami dengan menggunakan cyano spirulina dan jelly
gamat akan membantu mengurangi frekuensi transfusi darahnya. Alasannya,
kandungan Cyano Spirulina terdapat 5 zat gizi utama, yaitu karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral dan 4 pigmen alami yaitu betakaroten,
klorofil, xantofil, dan Fikosianin.
Pigmen adalah zat warna alami yang
ada pada tumbuhan. pigmen pada cyano Spirulina berfungsiebagai detoksifikasi
(pembersih racun), perlindungan tubuh terhadap radikal bebas, antioksidan,
meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan jumlah bakteri ”baik” di usus,
meningkatkan haemoglobin (Hb), dan sebagai antikanker.
Selain itu, cyano Spirulina
mengandung klorofil, Vitamin B 12, Asam folat dan zat besi yang duperlukan
untuk pembentukan darah merah. Konsumsi cyano Spirulina secara teratur akan mencegah
terjadinya anemia ( kurang darah). Pada keluarga dengan riwayat thalassemia
perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk menentukan resiko memiliki anak yang
menderita thalassemia.
E.
Faktor Resiko Penderita Thalasemia
1)
Anak dengan
orang tua yang memiliki gen thalassemia
2)
Resiko
laki-laki atau perempuan untuk terkena sama
3)
Thalassemia
Beta mengenai orang asli dari Mediterania atau ancestry (Yunani, Italia,
Ketimuran Pertengahan) dan orang dari Asia dan Afrika Pendaratan.
4)
Alfa
thalassemia kebanyakan mengenai orang tenggara Asia, Orang India, Cina, atau
orang Philipina.
F.
Penatalaksanaan dan Pencegahan pada Penderita Thalasemia
Pada penatalaksanan pada pasien
harus melakukan pertimbangan aspek ekonomi, sosial, dan budaya pasien. Untuk
memberikan terapi senantiasa meminta persetujuan dari pasien.
Pada pasien anak dapat diberikan
terapi:
1)
Transfusi
Untuk mempertahankan kadar hb di
atas 10 g/dl. Sebelum melakukannya perlu dilakukan pemeriksaan genotif pasien
untuk mencegah terjadi antibody eritrosit. Transfusi PRC (packed red
cell)dengan dosis 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
2)
Antibiotik
Untuk melawan mikroorganisme pada
infeksi. Untuk menentukan jenis antibiotic yang digunakan perlu dilakukan
anamnesis lebih lanjut pada pasien.
3)
Khelasi Besi
Untuk mengurangi penimbunan besi
berlebihan akibat transfusi. Khelasi besi dapat berupa: desferoksamin diberikan
injeksi subcutan, desferipone (oral), desferrithiochin (oral), Pyridoxal
isonicotinoyl hydrazone (PIH), dll.
4)
Vitamin B12
dan Asam Folat
Untuk meningkatkan efektivitas
fungsional eritropoesis.
5)
Vitamin C
Untuk meningkatkan ekskresi besi.
Dosis 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi
6)
Vitamin E
Untuk memperpanjang masa hidup
eritrosit. Dosis 200-400 IU setiap hari.
7)
Imunisasi
Untuk mencegah infeksi oleh
mikroorganisme.
8)
Splenektomi
Limpa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdominal dan
bahaya terjadinya ruptur. Jika disetujui pasien hal ini sebaiknya dilakukan
setelah anak berumur di atas 5 tahun sehingga tidak terjadi penurunan drastis
imunitas tubuh akibat splenektomi.
Pencegahan thalassemia atau kasus
pada pasien ini dapat dilakukan dengan konsultasi pra nikah untuk mengetahui
apakah diantara pasutri ada pembawa gen thalassemia (trait), amniosentris
melihat komposisi kromosom atau analisis DNA untuk melihat abnormalitas pada
rantai globin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Thalassemia adalah penyakit genetik
yang diturunkan secara autosomal resesif menurut hukum Mendel dari orang tua
kepada anak-anaknya. Penyakit thalassemia meliputi suatu keadaan penyakit dari
gelaja klinis yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut thalassemia
minor atau thalassemia trait (carrier = pengemban sifat) hingga yang paling
berat (bentuk homozigot) yang disebut thalassemia mayor. Bentuk heterozigot
diturunkan oleh salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia,
sedangkan bentuk homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang mengidap
penyakit thalassemia.
Di negara-negara yang mempunyai
frekuensi gen thalassemia yang tinggi penyakit tersebut menimbulkan masalah
kesehatan masyarakat (Public Health). Pada umumnya anak dengan penyakit
thalassemia mayor tidak akan mencapai usia produktif bahkan mati di dalam kandungan
atau mati setelah lahir seperti pada thalassemia-α Hb bart’s hydrop fetalis.
Keadaan ini sangat memperihatinkan jika anak-anak yang lahir tidak akan
mencapai usia dewasa, maka generasi berikutnya akan semakin berkurang bahkan
akan lenyap setelah beribu-ribu tahun.
B.
Saran
·
Sebaiknya
orang tua senantiasa memperhatikan kesehatan anaknya
·
Perlu
dilakukannya penelusuran pedigree/garis keturunan untuk mengetahui adanya sifat
pembawa thalassemia pada keluarga penderita thalasemia.
·
Sebaiknya
calon pasutri sebelum menikah melakukan konsultasi untuk menghindari adanya
penyakit keturunan, seperti pada thalassemia.
·
Perlu
dilakukannya upaya promotif dan preventif terhadap thalassemia kepada
masyarakat luas yang dilakukan oleh pelayan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Permono B,
Ugrasena IDG , A Mia. Talasemia.Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran UNAIR Surabaya
{google book diakses tanggal 15 Maret 2012}
·
Mansjoer A,
Triyanti K,Savitri R, Wahyu IW dan setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran,
Jilid 2 Edisi 3, Jakarta: Media aesculapius, 2001. 497-498
·
Ananta
Yovita. Terapi Kelasi Pada Thalassemia. Sari Pustaka. 2000